Stereotip Gender (Wanita) di Media Televisi Melalui Iklan



 tugas etika dan filsafat komunikasiku yang sudah lewat mengenai stereotipe secara luas di masyarakat dan dihubungkan oleh ikut sertanya media dalam menanamkan budaya stereotip itu

    ( Pengambaran Kasus )
 Dalam sebuah iklan tentang detergen yang ditayangkan di televisi nasional digambarkan bagaimana para wanita mengerumuni seorang pria yang datang dengan membawa sebuah produk detergen baru yang dikatakan sangat ampuh untuk memutihkan dan membersihkan noda di pakaian. Dengan antusias para wanita menyerbu produk detergen baru tersebut

Ø    ( Deskripsis Kasus dan Analisa )

Dari iklan yang tergambar dengan jelas tersebut didapatkan suatu pemikiran untuk menghubungkan suatu bentuk yaitu rutinitas ibu rumah tangga dengan iklan komoditas tertentu. Penggambaran representasi iklan diatas menunjukkan adanya pemanfaatan fenomena kode-kode sosial yang mengambil perspektif gender dalam interaksi anggota komunitas keluarga. Gender adalah pengkotakan peran yang dilakukan oleh suatu masyarakat terhadap kelompok pria dan wanita sebagai sesuatu yang diharuskan oleh masyarakat tersebut. Karena itu peran gender antara satu masyarakat dengan masyarakat lain dan antara satu generasi dan generasi yang lain dalam masyarakat yang sama bisa jadi berbeda. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan.

Namun dalam kenyataannya ternyata perbedaan gender ini justru menjadi pangkal dari ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, kekerasan pada kelompok wanita. Kekerasan gender terus saja terjadi bahkan media merupakan salah satu agen yang melanggenggkan kekerasan gender. Wood (2005) dalam bukunya mengatakan bahwa melalui isinya media membangun stereotipe dan labeling pada peran pria dan wanita baik dalam bentuk film, program televisi, berita, media cetak ataupun elektronik. Media merepresentasikan sosok laki -laki sebagai sosok percaya diri, agresif, berkuasa, sementara wanita digambarkan sebagai seksi, genit, penggoda[1].

Wood menyebut dalam acara prime time di televisi sebagian besar laki -laki digambarkan dalam citra yang independen, agresif, kuat, serius, percaya diri, mampu, dan wanita digambarkan tergantung, obyek, mengundang/menggoda, perhatian pada anak –anak,bekerja dirumah tangga dll . Wanita dalam hal ini dijadikan sarana untuk mengidentifikasikan produk dalam menciptakan citra produk. Dalam menawarkan produk detergen tersebut tidak hanya mempromosikan fungsi dan kelebihan bubuk detergennya, tetapi mencuplikkan realitas kehidupan para wanita  yang identik dengan persoalan sumur atau pekerjaan rumah tangga seperti mencuci yang kemudian menjadikan stereotip bahwa pekerjaan wanita memang sudah seharusnya mencuci baju dirumah dan memilih detergen dengan benar, kemudian secara sosial dapat diterima oleh penikmat iklan. Iklan ini merefleksikan peran wanita yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pakaian keluarga, atau dalam istilah Jawa seorang wanita  tidak pernah bisa lepas dari wilayah sumur, dapur dan kasur.

Salah satu kritik terhadap wacana iklan di era ekonomi kapital saat ini adalah, disamping patologi politik bujuk rayunya yang berpotensi besar bagi pengaburan perihal substansi material dan nilai guna (use value) suatu produk barang ataupun jasa, juga pada satu sisi sensitif lainya yakni perwujudan dan ekspresi yang ada, yang tampak begitu concern telah jauh menyinggung sensitif gender, yang berdampak diantaranya adalah semakin memberikan justifikasi pembenar dan bahkan mempertegas pengokohan konsep gender stereotype perempuan di masyarakat, yang deskripsi maknawinya senantiasa akrab dan identik dengan istilah ‘korban’ (victim).[2]

Sekilas penggambaran tersebut terlihat lumrah, visibilitas dari representasi dapat dikonsepsikan bahwa fenomena rumah tangga, di mana wanita sebagai ibu rumah tangga berperan sebagai subjek gender yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pakaian. Fenomena yang demikian merupakan fenomena sosial yang biasa bagi para perancang iklan dan audiens iklan. Namun dalam penciptaan iklan ini terdapat pemahaman pikiran dasar yang mempunyai perspektif gender dan kemudian hal itu makin memperkuat stereotip di masyarakat luas tentang peran wanita sebagai ibu rumah tangga.

  (Solusi yang dilihat dari sisi penyelesaian kasus dari kacamata sikap media, publik dan pemerintah )

Wanita telah menjadi mega bisnis kaum pria, sebab yang menguasai perekonomian akhirnya juga pria. Namun  anehnya para wanita tidak pernah merasa telah melakukan dosa terhadap sesama kaumnya. Hal ini dimungkinkan terlalu mudah untuk dieksploitasi. Hal ini harus ditangani dari individu terlebih dahulu sebelum menilik lebih jauh ke persoalan dimasyarakat, Ini adalah kemunduran degradasi dalam persoalan gender. Eksploitasi kapitalisme atas wanita tidak pernah memunculkan gelombang protes ataupun pemberontakan yang cukup berarti, tidak terjadi revolusi radikal, bahkan keluhan oleh kaum wanita yang tereksploitasi dan menjadikan hal itu stereotip tidak terdengar. Kebudayaan massa mengobsesi wanita tentang dunia baru yang serba instant, spontan dan absurd. Solusi atas masalah ini dimulai dari kaum wanita yang menjadi objek pelabelan stereotip yang mengatakan wanita hanya dirumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa mengerti dunia luar. Harus muncul suatu inovasi kreativitas di benak tiap kaum wanita bahwa kaum wanita memiliki derajat yang sama di masyarakat dengan kaum pria namun bedanya kaum wanita harus tetap ingat dengan kodrat fitrahnya yaitu mengabdi pada keluarga tanpa melupakan kepentingan pribadinya.

Bila kaum wanita secara individu menyadari hal itu maka baru bisa memperbaiki sikap pihak lain seperti media, media pun seharusnya cerdas, tidak hanya mengejar materiil namun juga tetap harus mengutamakan nilai-nilai yang baik dan pantas untuk ditampilkan dalam suatu tontonan atau tampilan iklan sekalipun. Stereotip gender merupakan kekerasan yang banyak terjadi dalam masyarakat media dan kekerasan ini dianggap hal biasa karena dalam budaya patriarkhi relasi kuasa antara laki -laki dan perempuan dikonstruksi dalam pola relasi yang timpang. Media sebagai produk dari budaya masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan ideologi yang ada di masyarakat seperti ideologi patriakhi. Akibatnya muatan media tidak jauh dari ideologi patriarkhi disebabkan karena para pengelola media adalah produk masyarakat itu sendiri. Para pengelola media yang sarat dengan pola pikir patriarkhi menghasilkan produk media yang patrairkhis pula. Hal ini berarti media tidak menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial, malah menyebarkan stereotip yang jelek terhadap satu golongan tertentu.

Penggambaran iklan ini merupakan refleksi dari kuatnya nilai -nilai patriarkhi para pengelola media dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga iklan-iklan seperti ini masih sarat dengan pesan patriarkhis yang menempatkan persoalan ketimpangan relasi kuasa sebagai hal yang biasa. Kebanyakan isi media yang, tersubordinat, termarginalkan dengan stereotip wanita sebagai mahluk lemah, tidak rasional, emosional, tidak mandiri. Sementara laki –laki direpresentasikan sebagai pihak berkuasa, kuat dan pelaku kekerasan. Media mempunyai batas-batas dan norma untuk menjalankan pekerjaan dan sudah seharusnya membuat suatu karya atau tampilan yang tidak menjustifikasikan suatu gender dengan stereotip yang menyesatkan.  Di bagian publik atau masyarakat, masyarakat harus memilah milah dan jeli dalam menentukan suatu tontonan kemudian melakukan stereotip terhadap suatu hal, apabila masyarakat cerdas dan mau menggali nilai-nilai yang lain dibalik suatu kemunculan produk di televisi maka masyarakat juga dapat pelan-pelan menghapuskan stereotip gender yang makin lama makin merusak pemikiran tentang kaum wanita tersebut. Kemudian terakhir adalah peran pemerintah sebagai pengawas dan pemilik undang-undang untuk dapat melakukan pengawasan penuh terhadap suatu hal apalagi itu dilakukan oleh media massa, media mempunyai fungsi kontrol sosial dan tentu saja pemerintah mempunyai hak mengontrol media dan yang ada didalamnya.

Pemerintah dapat menjalankan undang-undang tentang bagaimana iklan suatu produk yang sudah tentu dilakukan sensor atau pengamatan sebelum hal itu beredar dan merusak atau memperparah suatu stereotip. Sehingga ketika semua hal itu berjalan bersama niscaya akan tercipta suatu lingkungan masyarakat yang mempunyai penyamarataan dan penghindaran beredarnya suatu stereotip negatif apalagi itu menyangkut suatu golongan dan gender wanita. Karena kaum wanita adalah cikal bakal dari suatu kehidupan sudah tentu kaum wanita mempunyai suatu posisi istimewa di masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Daftar Bacaan

Liestianingsih D., Penggambaran Relasi Gender Dalam Iklan Obat Kuat dan Suplemen Di
Televisi, Laporan Penelitian (Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga, 2000).
Kasiyan, Perempuan dan Iklan; Sebuah catatan tentang Patologi Ideologi Gender di Era Kapital (NIRMANA Vol. 3, No. 2 , Juli 2001).
Wood, Julia, Gendered Lives (USA: Thomson Wadsworth, 2005).





Comments

Popular Posts