Kekuatan dan kelemahan teori agenda setting

 ini tulisanku tentang agenda setting yang pernah kujadikan bahan untuk ujian komunikasi massa

Para ilmuwan komunikasi dari dulu sampai sekarang berbeda pendapat mengenai kekuatan media massa memengaruhi pendapat dan sepak terjang khalayak. Sebagian mengatakan sesungguhnya media itu sangat  powerfull. Media tidak hanya sanggup memengaruhi opini publik, tapi juga tindakan publik. Di sisi lain, pengaruh media dikatakan terbatas, tergantung pada konteks ruang dan waktu, dan di mana media itu bekerja. Bagi mereka yang menganggap the media is powerfull, kemudian melahirkan beberapa teori komunikasi massa yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan budaya, salah satunya yakni teori Agenda Setting.
Masyarakat Indonesia yang plural dalam ragam budaya dan strata ekonomi berhasil digiring televisi pada fenomena Briptu Norman. Inilah kekuatan media massa, mampu memengaruhi perubahan kognitif pemirsa. Dari teori komunikasi massa yang ada, agenda setting menjadi teori paling menarik. Dasar pemikiran teori ini adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode tertentu. Akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media.
Teori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about“. Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Contoh kasus yang menjadi pilihan media adalah Briptu Norman Kamaru, Awal tahun 2011 begitu ramai di media massa. Siapa yang tak kenal Briptu Norman. Media massa menjadikannya lalu-lalang ramaikan layar kaca kita. Tak tanggung-tanggung, semua stasiun televisi memiliki jadwal wawancara langsung dengannya.Semua aspek kehidupannya dikupas tuntas untuk dipaparkan kepada pemirsa. Kekuatan media memang tidak diragukan lagi dalam memengaruhi massa. Respon dari masyarakat begitu mendalam. Ketika sebuah televisi berinovasi dengan Twitter dan Facebook agar pemirsa bisa menanyakan langsung hal-hal kecil tentang Briptu Norman. Namanya menucat sejak video Briptu Norman Kamaru berjoget dan menirukan lagu India berjudul 'Chaiyya Chaiyya' di unggang di you tube. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, semua orang penasaran dan mulai mencari tahu tentang Briptu Norman. Hampir semua Media Massa membicaraakan Briptu Norman. Seorang polisi asal Gorontalo yang pandai meniru aksi Shahrukh Khan, dia pintar meniru gerakan tangan, pundak, kepala, serta mimik muka seperti layaknya artis Bollywood.
Framing yang dilakukan media membuat suatu berita terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Seperti yang dikatakan Robert N. Ertman, framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik utama yang diangkat oleh media sebagai bahan perbincangan sehari-hari. Pengaruh dari teori agenda setting terhadap masyarakat dan budaya sangat besar. Dunia Tarik suara mengambil kesempatan ini untuk memberikan tawaran Rekaman kepada Briptu Norman. Bahkan hingga menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Banyak dijual kaos bergambar wajah Briptu Norman di pasaran. Popularitas Briptu Norman di tanah air langsung melesat bak meteor. Dampak dari media massa yang terus mem-blow up nya terbentuklah opini publik yang cenderung mengidolakan Polisi Gorontalo ini.
Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda public. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik mengenai Fenomena di atas.

Kelemahan Teori Agenda Setting
Coba kita lihat skandal Century yang semakin memanas hingga hari ini. Beritanya tidak menjadi topik utama di semua media massa. Hanya beberapa media saja yang menjadikannya headline.Itu terjadi karena tidak sesuai dengan selera publik.Di sinilah kelemahan dari teori agenda setting.Ketika mulai masuk ke selera publik maka teori yang lebih relevan untuk melihatnya adalah Uses dan Gratification. Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya.
Dalam memenuhi kebutuhan secara psikologis dan sosial, audiens menjadi tergantung pada media massa. Audiens memperlakukan media sebagai sumber informasi bagi pengetahuan mengenai perkembangan kasus Century. Karena itu, media pun bersedia menayangkan Sidang Pansus Century secara live. Media mencoba memberikan apa yang dibutuhkan oleh audiens sehingga memberikan efek dalam ranah afektif audiens. Salah satunya adalah meningkat dan menurunnya dukungan moral terhadap skandal Century yang sedang dalam penyelesaian.
Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Ini termasuk dalam kelebihan dari teori agenda setting sementara yang lainnya adalah memiliki asumsi bahwa suatu berita mudah dipahami dan mudah untuk diuji.Dari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki teori agenda setting tentu ada saja dampak negatif dan positifnya.

Media Literacy
Teori yang disebut Cultural Norms, beranggapan bahwa media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga memengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serat nilai-nilai dari suatu masyarakat. Media massa telah menghadirkan seperangkat citra, gagasan, dan evaluasi dari mana audiens dapat memilih dan menjadikan acuan bagi perilakunya. Sangat penting bagi pemirsa untuk menyikapi dengan benar masalah negatif yang timbul dari teori agenda setting.
Dalam teori agenda setting, audiens bersifat pasif sehingga tidak bisa mengontrol efek yang menimpanya.Agar tidak terjadi kesalahan dalam perolehan informasi maka perlu untuk melek media atau Literacy Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.
Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
  1. Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal
  2. Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
  3. Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
  4. Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.
Berita bukan refleksi dari realitas melainkan kosntruksi dari realitas.Sebagai masyarakat modern, masyarakat yang selalu membutuhkan informasi atau bisa dikatakan Information Based Society, kita harus melek media. Hal ini bertujuan agar kita tidak salah dalam menerima berita. Kita jadi selektif dalam menanggapi media massa. Karena menjadi audiens yang pasif tidaklah menyenangkan. Karena tidak selamanya kehidupan kita diatur berdasarkan agenda setting dari media.

Comments

Popular Posts